Billionaire, when? I don’t know, I give up.

starleeydf
5 min readDec 31, 2023

--

Haksa Barituta

Sudah lebih dari tiga jam Haksa menunggu hasil operasi yang tak kunjung ada.

Dan karena Haksa mendapat pesan dari Jidan bahwa dia sedang di IGD, Haksa pun bergegas ke sana. Apalagi mendengar nama Ecca yang katanya jatuh pingsan. Seolah pikiran Haksa berhenti, yang ia tahu sekarang hanyalah berlari secepat mungkin.

“Permisi, IGD ke arah mana?”

Berkali-kali Haksa menabrak orang yang berlalu lalang di rumah sakit tersebut, ia berlari lagi hingga kakinya sampai pada salah satu ruang bernamakan IGD (Instalasi Gawat Darurat).

Sejenak Haksa menarik napasnya lalu mendekatkan diri pada pintu kaca hingga pintu tersebut terbuka dengan sendirinya. Ia mengedarkan pandangannya, berharap apa yang Jidan katakan salah besar.

“E-ecca?”

Bibirnya sungguh bergetar, kakinya berjalan tergesa hingga tangannya meraih wajah wanitanya yang kelopak matanya betah menutup. “Ca? Enggak kan? Maksudku ini bukan kamu kan? — CA, KAMU KENAPA?!” panggilnya frustasi, Ecca tak ada pergerakan.

Ia menangis, bulir yang sedari tadi kering kini mengalir lagi membasahi wajahnya. Napasnya memburu hanya dengan melihat Becca tak sadarkan diri, wajah pucat, dan lehernya memerah.

Dilihatnya lebih jelas leher itu lebih dekat. Ia merasa kemarahannya akan menghancurkan rumah sakit ini saat ia tahu betul yang dilihatnya adalah luka bekas cengkeraman seseorang dan dia tidak tahu siapa orang yang dengan lancangnya melukai wanitanya.

Ia menelusur selidik sahabat-sahabatnya termasuk Jidan yang berada di sampingnya, namun mereka semua mengangkat tangan karena mereka berlima pun tidak tahu apa yang terjadi.

“Kita baru nyampe trus liat Becca lagi dibawa ke IGD.” pengakuan Yaza.

Namun saat mata Haksa menatap Soray, sahabatnya itu menunjuk pada seseorang yang kini sedang berdiri membeku di dekat sang dokter.

“Lo?” tunjuk Haksa pada Rio yang berhasil membuat lelaki itu menoleh selagi dirinya fokus mengamati dokter yang tergesa memeriksa Becca.

Haksa berjalan memutari ranjang dengan amarahnya ia pun melayangkan pukul ke wajah Rio.

Bugh!

“LO APAIN ISTRI GUE ANJING?!”

Bugh!

Rio tak melawan, ia terima itu semua. Sedangkan Nolol sibuk memisahkan Haksa dari Rio. Satu sahabatnya itu memang menjadi tak terkendali jika emosi sudah pada puncaknya.

Bugh!

“SALAH BANGET GUA PERCAYAIN ECCA KE LO! HARUSNYA GAK GUA IZININ LO BERDUA KELUAR BARENG, BRENGSEK!” umpat Haksa lagi tak berhenti memukuli Rio hingga pria itu mengeluarkan darah di sudut bibirnya.

“LO JUGA BRENGSEK, JANGAN RIBUT DI SINI!” lerai Jidan menampar Haksa untuk sadar tempat.

Memalukan.

Haksa pun terpaksa menghentikan aksinya. Ia memegangi pipinya dan meringis sakit sehabis ditampar Jidan. “Aws!”

“Bawa dia keluar!” perintah Jidan yang langsung dituruti Johdan dibantu Nolol yang lain. Mereka menarik Haksa ke luar dari IGD agar tak menimbulkan keributan lebih parah.

“Gua suaminya Ecca, harusnya lo bawa si Oriorio keluar, anjing! Bukan gua!” tahan Haksa.

“Lo emang suaminya kak Becca tapi lo bikin ribut satu IGD anjing! Musyawarah mufakat dulu kek, tanya kenapa, ada apa, kak becca kenapa, nggak asal main tangan! Kontrol diri lo sendiri! Nggak semuanya bisa selesai pakai emosi dan balas dendam lo!” nasihat Jidan saat mereka sampai di taman depan.

Mendengar ocehan dari sahabat-sahabatnya itu membuat dirinya menghempaskan pantat ke kursi taman. Ia terduduk lesu di sana, kepalanya menunduk dan tangannya menutupi sebagian wajahnya.

Perlahan badannya terlihat bergetar, Haksa menangis. Lelaki itu mengeluarkan rasa sesaknya atas Jaze, Levina, dan Ecca dengan membiarkan dirinya menangis.

“Sekuat apapun gue berusaha, pada akhirnya orang-orang terdekat gue yang akan terluka.” ucap Haksa di tengah bulir derasnya.

Billionaire, when? I don’t know, I give up (billionaire, kapan? Nggatau, gue nyerah).” lanjutnya merutuki diri sendiri seraya menendang kaleng sembarang.

Nolol yang mendengar itu tak mengerti harus seperti apa lagi menunjukkan kehadiran mereka yang selalu ada untuk Haksa.

“Sa, lo kenapa sih hah? Lihat kita, — Nolol ada itu buat lo. Kita bisa ada sampai sekarang itu karena lo! Kita termasuk orang terdekat lo right?” Jidan menunjuk Nolol yang terlihat sehat tanpa cacat. “See? Kita nggak terluka. Kita bisa berdiri di sini, kita sehat, kita bisa kerja bareng-bareng bangun OneBi. Kita semua nggak ada yang terluka.”

“Tapi, Ji. Lo pernah,-”

“Gue pernah koma karena lo? Trus lo juga mikir Jaze, Levina, sama kak Becca kayak gitu karena lo? — Pede banget lo. Lo harusnya bisa mikir sendiri, luka gue dan mereka itu emang udah takdirnya. Begitu juga nyokap lo, bokap lo, dan.. N-nada.” jelas Jidan sedikit terbata di akhir karena sebenarnya ia juga merasakan apa yang Haksa rasakan.

“Dunia lo belum berakhir, buktinya lo masih bisa hidup ketika keluarga lo pergi ninggalin lo. Lo masih hidup meskipun orang-orang terdekat lo terluka. Selama karena udah seharusnya terjadi, nggak ada yang perlu disesali. Dunia lo masih ada, nggak berhenti di tahun 2021. Lo sekarang ada di tahun 2033, udah ada kak Becca, ada Disa. Lo udah nggak sendirian lagi, Sa. Lo masih bisa usahain apa yang lo punya sekarang, jangan terus-terusan melihat ke belakang.” — Jidan.

“Lagian rencana lo berhasil, pak Satya nggak jadi pakai rencana pertama buat naruh bom di gedung fanmeeting-nya kak Becca berkat Lopers yang ngasih data korupsinya ke gedung lama Pravez.” lanjut Jidan.

“Tapi sama aja, jadinya Jaze sama Levina yang kena.” sanggah Haksa meraup wajahnya frustasi.

“Yeu~ seenggaknya lo udah mencoba!” timpal Oga.

“Itu kan nggak disengaja. Semuanya juga di luar kendali lo, kan? Udah lah, Sa. Nggak ada yang perlu disalahkan dan menyalahkan.” balas Jidan lagi membuat Haksa perlahan mengangguk dan lagi-lagi menunduk. Ia menghela napas panjangnya.

Keheningan melanda di antara mereka berenam, tak ada yang memulai bicara lagi. Mereka hanya sibuk memalingkan wajah satu-sama-lain. Karena kelima sahabatnya tahu betul, untuk jangan mengganggu Haksa jika pikirannya sedang penuh.

***

Langit sudah menujukkan kegelapan. Haksa memilih kembali ke IGD setelah menenangkan diri di taman rumah sakit.

Nolol selain Jidan pergi menunggu Jaze dan Levina di depan ruang operasi. Sedangkan Haksa, Jidan, dan Rio berada di IGD menunggu Becca yang kata dokter sebentar lagi akan siuman, sambil mendengarkan penjelasan Rio mengenai apa yang sebenarnya terjadi tanpa melibatkan emosi. “S-sorry, maafin gue.”

Haksa di sisi ranjang, menggenggam tangan dan menautkan jari-jarinya pada sang istri yang menggunakan alat bantu pernapasan. Pria itu terus seperti itu tanpa merasa pegal sedikitpun, berkali-kali ia mengecup dan memanggil nama Becca dengan panggilan sayang.

Setelah kurang lebih lima belas menit lamanya, akhirnya Haksa mendengar Becca terbatuk kecil, lalu merintih memegangi lehernya, yang kelopak indah milik wanitanya telah terbuka.

Ketika bola mata hitam milik istrinya itu bertemu tatap dengannya, Haksa langsung memeluknya. Ia berkali-kali mengecup dahi Becca, berterimakasih karena telah membuka matanya.

“Muka kamu lengket, kamu habis menangis?” tanya Becca setelah menyentuh pipi Haksa yang segera diberi gelengan sang suami.

“E-enggak, ini tadi ketumpahan gulali karena habis liat senyum kamu, hehe.”

“Tapi aku belum tersenyum?” sanggah Becca sedikit menyunggingkan senyumnya.

“Itu barusan kamu senyum,” tunjuk Haksa membuat Becca terkekeh tak bisa menyangkalnya lagi.

“Haksa?” panggil Becca membuat prianya perlahan mendekatkan wajahnya.

“Hm? Kenapa sayangku?” bisik Haksa di telinga Becca.

“Aku baik-baik saja.” jelas Becca ikut berbisik, berharap Haksa tak khawatir akan kondisinya.

“Aku tahu.”

“Jangan khawatir tentangku, Rio juga membantuku melepaskan Mama dariku.” katanya menunjuk Rio dengan bola matanya.

Becca sangat berusaha untuk membuat Haksa percaya pada Rio, karena memang itulah yang terjadi. Ia tidak mau terjadi salah paham diantara mereka.

“Aku tahu, aku tahu. Santai aja, suamimu ini nggak emosian.” ucap Haksa membuat Jidan mencibir di belakang karena tak sesuai kenyataan.

— starleeydf.

--

--

starleeydf
starleeydf

No responses yet