Futuristic Room
Becca yang baru saja pulang dari sesi reading Fast Future Series 21 terkejut merasakan kaki kanannya dipegang oleh sang anak. “Kakak, lepasin ya? Ibu mau bertemu om Haksa” bujuknya sedikit membungkuk.
“Bertemu om? Ihh Disaa mauu ikut, yayaya? Boleh yayaya? Boleh kan Ibu?” pinta Disa memaju-mundurkan bibirnya.
Wanita itu menghela napas pasrah kemudian mengangguk, mengiyakan. “Tapi harus sopan, okay? Ucapkan permisi dan selamat sore” tuntunnya yang diangguki sang anak.
***
“Maaf, Disa suka banget kucing jadi sedikit berisik” ungkap Becca memecah suara keyboard yang beradu karena Haksa fokus mengerjakan kode yang sedang ia susun.
“Santai aja nggapapa, — by the way ini kotak makannya, thanks, kuenya enak” puji Haksa seraya mengambil kotak makanan yang sudah bersih dan bertengger di meja ruang tamu.
“Oh ya? Glad”.
I wanna be a billionaire so fuckin bad~
“I wanna be a billionaire so fish bad”
“Dis-”
“Udah, biarin aja. Gue juga suka lagu itu kok” wajarnya sekuat tenaga yang nyatanya agak sedikit terganggu ketika televisi yang biasa ia gunakan untuk memutar lagu dimainkan oleh anak kecil itu. Ingin memarahi, tapi apa daya. “Hehe, I wanna be a billionaire~” gabung lelaki itu turut bernyanyi sahut-sahutan dengan Disa.
“Wahhhh Om menyukai lagu Billionaire juga?” tanya Disa menghampiri Haksa.
“Suka banget.. banget..” jawabnya.
“Benarkah, Om?” tanya Disa yang dibalas anggukan mantap Haksa.
“Ihh kita samaa. Oh ya Om, aku memiliki cita-cita menjadi seperti ibu, biar Disa punya banyak makanan di kulkas tanpa harus meminta terlebih dahulu. Meminta pada ibu itu sungguh menyebalkan, sering sekali aku meminta ice cream tapi tidak diperbolehkan” adunya membuat Becca ingin sekali menghentikan anaknya berbicara tapi anak itu susah dihentikan.
“Om, Disa ingin menjadi artis seperti ibu, tapi ibu selalu memarahiku jika aku bilang mau jadi artis, bukankah menjadi artis itu menyenangkan ya Om? Bisa terkenal, bisa memiliki banyak makanan di kulkas, dan bisa membeli dorayaki~” lanjutnya riang gembira membuat Haksa sedikit terkekeh.
“Boleh lah, ibu ini larang lo? Mana sini Om jewer si ibu ini” katanya sedikit kikuk saat Becca malah menatapnya tajam kemudian jarinya memberikan tanda perdamaian, — peace.
“Mau lihat sesuatu nggak?” lanjutnya menahan Disa kemudian ketiganya beranjak dari sana mengekor Haksa berjalan ke sudut ruangan yang semakin terlihat futuristik.
“Wah, ini keren sekali Om! Wah ini robot yang kemarin Disa lihat, ini sangat keren!” kagum Disa menyentuh robot kecil yang sedang berjalan mengitari mereka.
“Panggil Hayi, nanti nyahut” pandu Haksa membuat gadis kecil itu menurut.
“Hayi~”
“Hai, saya Hayi. Apa kamu bersenang-senang hari ini?”
“Om! INI SANGAT KEREN!” kagum Disa tanpa henti.
Disamping Disa betah bermain dengan Hayi, Becca masih mengamati dan menjelajah tiap sudut ruang futuristik tanpa henti berdecak kagum.
Melihat secara langsung ruangan yang dipenuhi oleh alat-alat berteknologi tinggi adalah hal baru bagi Becca dan sang anak. “Haksa, ruangan ini untuk apa?” tanya Becca penasaran yang tentu saja dijawabnya dengan senang hati.
“Gue biasa menyebutnya game room, kalau di sebelah sana controll room atau tempat biasa gue programming, hacking, anything yang berhubungan dengan project serius dan berat. Hm, kegunaannya buat semedi, enggak lah. Pokoknya, kalau gue udah di controll room itu adalah ketika gue nggak mau diganggu siapapun, ketika gue merasa ingin marah dan ingin menghancurkan semuanya” jelas Haksa hiperbola.
“Contoh?” tanya Becca.
“Contohnya ketika gue berbuat sesuatu yang bisa ngebuat gue masuk Lapas” balas lelaki itu terkekeh.
“Nggak lucu, Haksa” sanggah Becca seketika, “Okay, jadi yang satu miliar dulu itu kamu simpan disini?” lanjutnya bertanya.
“Bukan dong. Maksudnya, controll room cuma ruang hacking, pokoknya kalau gue di sana berarti ada sesuatu yang berbahaya yang harus diselesaikan, dan pengoperasiannya terkadang legal, terkadang ilegal, sesuai kebutuhan” jelas Haksa menunggu respon wanita di sampingnya.
“Tampilannya saja yang keren, fungsinya seram” respon Becca membuatnya terkekeh.
Keduanya sedikit terdiam sambil mengamati Disa sampai Haksa melontarkan tanya, “Lo tadi kenapa larang Disa jadi artis?” tanyanya tiba-tiba.
Wanita berambut panjang itu sedikit menghela napas sebelum menjawab, “Saya tidak mau Disa merasakan apa yang saya rasakan. Menjadi public figure bukan hal untuk bersenang-senang” ungkap wanita itu dalam.
“Boleh gue kasih saran?” izin Haksa yang diberi anggukan Becca. Perlahan Haksa mendekat ke telinga wanita di sebelahnya seraya keduanya memandangi Disa yang masih bermain dengan robot.
“Kata ibu Diah, tugas orangtua itu menemani dan memfasilitasi anak untuk berproses. Jadi, apapun alasannya, jangan kekang anak sendiri. Kalau Disa mau jadi seperti lo, biarin. Biar dia ngerasain apa itu gagal dan sukses. Terkadang, kebebasan juga diperlukan agar manusia bisa bertumbuh-kembang menyesuaikan lingkungan” katanya sambil mengingat bagaimana mendiang ibu Diah mendidik Haksa.
Sementara, Becca betah memandangi wajah samping Haksa, dalam.
Haksa, laki-laki yang tak pernah bisa saya temui dimanapun selain di tempat ini. Ia terlalu mendekati segala kriteria yang pernah saya sematkan dalam harap, — laki-laki seperti ini yang saya impikan.
Jika boleh saya mengulang waktu, saya ingin menghampirinya lebih awal, berada disampingnya lebih awal, dan menemaninya berjuang lebih awal.
Kenapa kami baru dipertemukan sekarang? Pertanyaan itu terlalu menyalahi takdir, tapi saya merasakan itu sekarang.
“Ca?” panggil Haksa membuyarkan pikiran wanita itu. “Gue sadar kok, gue ganteng” percaya dirinya membuat Becca memukul kecil lengannya.
Hanya dengan tingkah kecil wanita itu mampu membuat Haksa melebarkan senyumnya. Meski hanya dua jam bersama, rasanya seperti diberi jutaan energi untuk terus bertahan di dunia yang penuh rintangan ini.
— starleeydf.